
Latar Belakang Klaim Historis China
Klaim China atas Laut China Selatan didasarkan pada apa yang disebut “garis sembilan titik” (nine-dash line). Garis ini pertama kali muncul pada peta resmi China tahun 1947, yang saat itu memiliki 11 garis. Pada tahun 1953, dua garis dihapus dari Teluk Tonkin, menyisakan sembilan garis yang kini menjadi dasar klaim China.
China berargumen bahwa klaim ini memiliki dasar historis. Menurut pemerintah China, nelayan dan pelaut China telah menggunakan perairan ini selama berabad-abad, dan dokumen-dokumen sejarah menunjukkan bahwa wilayah tersebut telah menjadi bagian dari teritori China sejak zaman dinasti kuno.
Pelajari Lebih Dalam Tentang Sejarah Klaim Maritim
Dapatkan akses ke studi komprehensif tentang evolusi klaim historis di Laut China Selatan dan implikasinya terhadap hukum internasional.
Garis sembilan titik mencakup sekitar 90% dari total luas Laut China Selatan. Area ini meliputi beberapa gugus kepulauan utama seperti Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Karang Scarborough, dan Kepulauan Pratas. Klaim ini bertumpang tindih dengan klaim maritim negara-negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
Ketentuan UNCLOS 1982 dan Zona Ekonomi Eksklusif
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan laut dan sumber daya laut. China telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1996, yang secara teori mengikat negara tersebut pada ketentuan-ketentuan konvensi.
UNCLOS menetapkan beberapa zona maritim yang dapat diklaim oleh negara pantai:
- Laut Teritorial: wilayah perairan sejauh 12 mil laut dari garis pangkal, di mana negara memiliki kedaulatan penuh.
- Zona Tambahan: wilayah perairan sejauh 24 mil laut dari garis pangkal, di mana negara dapat menerapkan kontrol untuk mencegah pelanggaran hukum tertentu.
- Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): wilayah perairan sejauh 200 mil laut dari garis pangkal, di mana negara memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam.
- Landas Kontinen: dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan perpanjangan alamiah dari wilayah daratan negara, yang dapat diperluas hingga 350 mil laut dalam kondisi tertentu.
Berdasarkan UNCLOS, klaim maritim harus didasarkan pada daratan (land dominates the sea). Ini berarti bahwa hak maritim suatu negara berasal dari kedaulatannya atas wilayah daratan, bukan dari klaim historis atas perairan.
Analisis Yuridis: Klaim China vs Ketentuan ZEE
Klaim China berdasarkan garis sembilan titik bertentangan dengan ketentuan UNCLOS dalam beberapa aspek fundamental:
Klaim China
- Didasarkan pada hak historis dan penemuan awal
- Mencakup hampir seluruh Laut China Selatan (90%)
- Tidak memiliki koordinat geografis yang jelas
- Meliputi perairan yang jauh dari daratan China
- Mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau dan perairan
Ketentuan UNCLOS
- Hak maritim berasal dari daratan (land dominates the sea)
- ZEE dibatasi maksimal 200 mil laut dari garis pangkal
- Memerlukan koordinat geografis yang jelas
- Perairan di luar ZEE merupakan laut lepas
- Membedakan antara kedaulatan dan hak berdaulat
Pasal 121 UNCLOS menyatakan bahwa pulau dapat menghasilkan ZEE dan landas kontinen, sementara “batu karang yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi sendiri” hanya berhak atas laut teritorial. China telah melakukan reklamasi besar-besaran untuk mengubah fitur maritim menjadi pulau buatan, namun UNCLOS menegaskan bahwa pulau buatan tidak menghasilkan ZEE atau landas kontinen.
“Klaim historis China atas hampir seluruh Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum sejauh klaim tersebut melebihi batas-batas maritim yang diizinkan oleh UNCLOS.”
Studi Kasus: Sengketa China-Filipina dan Keputusan PCA 2016
Pada tahun 2013, Filipina mengajukan gugatan terhadap China ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag terkait klaim maritim di Laut China Selatan. Filipina menantang legalitas klaim garis sembilan titik China dan status fitur maritim di Kepulauan Spratly dan Karang Scarborough.
China menolak untuk berpartisipasi dalam proses arbitrase, dengan alasan bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Meskipun demikian, proses arbitrase tetap berlanjut sesuai dengan ketentuan Lampiran VII UNCLOS.
Poin Kunci Putusan PCA 2016
- Klaim “hak historis” China di dalam garis sembilan titik tidak memiliki dasar hukum.
- Tidak ada fitur di Kepulauan Spratly yang memenuhi syarat sebagai pulau menurut Pasal 121(3) UNCLOS.
- China telah melanggar hak berdaulat Filipina di ZEE dengan menghalangi aktivitas perikanan dan eksplorasi minyak.
- Aktivitas reklamasi dan pembangunan pulau buatan oleh China telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
- China telah memperburuk sengketa dengan melakukan reklamasi skala besar selama proses arbitrase.
Pada 12 Juli 2016, PCA mengeluarkan putusan yang membatalkan klaim China berdasarkan garis sembilan titik. Pengadilan menyatakan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum sejauh klaim tersebut melebihi batas-batas maritim yang diizinkan oleh UNCLOS.
China dengan tegas menolak putusan tersebut dan menyatakan bahwa keputusan itu “null and void”. Hingga saat ini, China tetap mempertahankan klaimnya dan terus melakukan aktivitas di wilayah yang disengketakan, termasuk pembangunan pulau buatan dan pengerahan aset militer.
Dampak Geopolitik terhadap ASEAN dan Negara Pantai
Sengketa Laut China Selatan memiliki dampak geopolitik yang signifikan terhadap ASEAN dan negara-negara pantai di kawasan:
Fragmentasi ASEAN
Sengketa ini telah menyebabkan perpecahan di antara negara-negara ASEAN. Beberapa negara yang memiliki klaim tumpang tindih dengan China (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei) cenderung mengambil posisi yang lebih tegas, sementara negara-negara yang tidak memiliki klaim langsung (Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar) cenderung bersikap netral atau bahkan mendukung posisi China.
Dampak terhadap Indonesia
Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim di Kepulauan Spratly atau Paracel, garis sembilan titik China bertumpang tindih dengan ZEE Indonesia di perairan Natuna. Indonesia telah menghadapi beberapa insiden dengan kapal nelayan dan penjaga pantai China di wilayah tersebut. Menanggapi hal ini, Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya di Kepulauan Natuna dan secara resmi menamai perairan tersebut sebagai “Laut Natuna Utara”.
Dapatkan Analisis Mendalam
Ikuti perkembangan terbaru tentang dinamika geopolitik di Laut China Selatan dan implikasinya terhadap keamanan regional.
Militarisasi Kawasan
China telah melakukan reklamasi besar-besaran di beberapa fitur maritim di Kepulauan Spratly dan Paracel, mengubahnya menjadi pulau buatan dengan fasilitas militer seperti landasan pacu, pelabuhan, dan sistem radar. Hal ini telah mendorong negara-negara lain untuk meningkatkan anggaran pertahanan dan memperkuat kehadiran militer mereka di kawasan.
Respons Komunitas Internasional
Amerika Serikat
AS telah mengambil posisi yang jelas menentang klaim China. Meskipun tidak mengambil sikap terhadap klaim kedaulatan yang tumpang tindih, AS menegaskan pentingnya kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut China Selatan. AS secara rutin melakukan “operasi kebebasan navigasi” (FONOP) di perairan yang diklaim China dan memberikan dukungan militer kepada sekutu di kawasan seperti Filipina.
Australia
Australia telah menyatakan dukungannya terhadap putusan PCA 2016 dan menekankan pentingnya penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan hukum internasional. Australia juga telah meningkatkan kerja sama pertahanan dengan negara-negara di kawasan dan secara aktif berpartisipasi dalam latihan militer bersama.
Uni Eropa
Uni Eropa telah mengadopsi pendekatan yang lebih diplomatik, menekankan pentingnya dialog dan kerja sama. UE mendukung penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan UNCLOS dan telah menyerukan penyelesaian Code of Conduct (COC) antara ASEAN dan China.
Pembangunan Pulau Buatan dan Militarisasi
Salah satu aspek paling kontroversial dari strategi China di Laut China Selatan adalah pembangunan pulau buatan melalui reklamasi besar-besaran. Sejak 2013, China telah mengubah terumbu karang dan fitur maritim lainnya menjadi pulau buatan dengan infrastruktur sipil dan militer.
Lokasi | Luas Reklamasi | Fasilitas | Status |
Mischief Reef | 5.58 km² | Landasan pacu 3.000m, pelabuhan, radar | Selesai |
Fiery Cross Reef | 2.74 km² | Landasan pacu, hanggar, sistem rudal | Selesai |
Subi Reef | 5.71 km² | Landasan pacu, pelabuhan, fasilitas radar | Selesai |
Johnson South Reef | 0.11 km² | Helipad, bangunan militer | Selesai |
Menurut UNCLOS, pulau buatan tidak menghasilkan ZEE atau landas kontinen. Namun, China menggunakan pulau-pulau ini sebagai basis untuk memperkuat kontrolnya atas wilayah yang disengketakan dan untuk memproyeksikan kekuatan militernya di kawasan.
Pembangunan pulau buatan ini juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut. Dalam putusannya, PCA menyatakan bahwa aktivitas reklamasi China telah menyebabkan “kerusakan parah, luas, dan permanen terhadap ekosistem terumbu karang”.
Proyeksi Resolusi Konflik Melalui Jalur Diplomasi dan Hukum
Meskipun situasi di Laut China Selatan tetap tegang, ada beberapa jalur potensial untuk resolusi konflik:
Code of Conduct (COC)
ASEAN dan China telah bekerja sama untuk mengembangkan Code of Conduct yang akan mengatur perilaku pihak-pihak di Laut China Selatan. Negosiasi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, dengan kemajuan yang lambat. Tantangan utama termasuk cakupan geografis COC dan apakah dokumen tersebut akan mengikat secara hukum.
Negosiasi Bilateral
China lebih menyukai pendekatan bilateral dalam menyelesaikan sengketa teritorial. Beberapa negara, seperti Filipina di bawah pemerintahan Presiden Duterte, telah mengambil pendekatan yang lebih akomodatif terhadap China dan mengesampingkan putusan PCA untuk mengejar kerja sama ekonomi.
Mekanisme Multilateral
Forum multilateral seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS) menyediakan platform untuk dialog tentang isu-isu keamanan regional, termasuk Laut China Selatan. Namun, efektivitas forum-forum ini dibatasi oleh prinsip konsensus ASEAN dan pengaruh China terhadap beberapa negara anggota.
Prospek Positif
- Peningkatan dialog antara ASEAN dan China
- Kemajuan dalam negosiasi Code of Conduct
- Peningkatan kesadaran internasional tentang pentingnya UNCLOS
- Potensi kerja sama dalam bidang non-tradisional seperti perlindungan lingkungan
Tantangan
- Ketidakseimbangan kekuatan antara China dan negara-negara ASEAN
- Penolakan China terhadap putusan PCA
- Fragmentasi di antara negara-negara ASEAN
- Militarisasi berkelanjutan di kawasan
Posisi dan Kepentingan Indonesia
Indonesia memiliki posisi unik dalam sengketa Laut China Selatan. Secara resmi, Indonesia bukan negara pengklaim dalam sengketa Kepulauan Spratly atau Paracel. Namun, garis sembilan titik China bertumpang tindih dengan ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menegaskan kedaulatannya:
- Secara resmi menamai perairan tersebut sebagai “Laut Natuna Utara” pada tahun 2017.
- Memperkuat kehadiran militer di Kepulauan Natuna, termasuk pembangunan pangkalan militer baru.
- Melakukan patroli rutin di ZEE Indonesia dan menangkap kapal nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal.
- Mengajukan nota protes diplomatik terhadap China ketika kapal penjaga pantai China memasuki ZEE Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kepentingan vital dalam menjaga integritas UNCLOS, yang memberikan dasar hukum bagi konsep “negara kepulauan” dan hak-hak maritim yang terkait. Indonesia juga memiliki kepentingan ekonomi yang signifikan di perairan Natuna, yang kaya akan sumber daya perikanan dan cadangan gas alam.
Kesimpulan
Sengketa Laut China Selatan merupakan contoh klasik pertentangan antara klaim historis dan hukum internasional modern. Klaim China berdasarkan garis sembilan titik bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental UNCLOS, yang telah diratifikasi oleh China sendiri.
Putusan PCA 2016 memberikan kejelasan hukum tentang status klaim China, namun implementasi putusan tersebut tetap menjadi tantangan besar karena penolakan China dan keterbatasan mekanisme penegakan hukum internasional.
Bagi Indonesia dan negara-negara lain di kawasan, penting untuk terus menegaskan hak-hak maritim berdasarkan UNCLOS sambil mengejar dialog dan kerja sama dengan China. Pendekatan yang seimbang antara ketegasan dan diplomasi akan menjadi kunci dalam mengelola sengketa ini dalam jangka panjang.
Pelajari Lebih Lanjut tentang Hukum Maritim Internasional
Dapatkan pemahaman komprehensif tentang UNCLOS dan implikasinya terhadap sengketa maritim global melalui kursus online kami.
Sumber Daya dan Referensi
Dokumen Hukum
- Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982
- Putusan Pengadilan Arbitrase Permanen dalam kasus Filipina v. China (2016)
- Deklarasi ASEAN-China tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (2002)
Publikasi Akademis
- Jurnal Hukum & Pembangunan: “Putusan Sengketa Laut China Selatan serta Implikasi Hukumnya”
- Jurnal Kewarganegaraan: “Kajian Validitas Klaim China atas Wilayah Laut Cina Selatan Indonesia”
- American Journal of International Law: “The Nine-Dash Line in the South China Sea: History, Status, and Implications”
Sumber Online
- Asia Maritime Transparency Initiative (CSIS)
- South China Sea Expert Working Group (ASEAN)
- United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea